dan layar pun terkembang
layar bahtera rumah tangga
dua anak manusia coba arungi samudera kehidupan,
bersama
air mata
gelak tawa
menjadi satu,
padu
haru biru
meronta dan merona
mewarnai perjalanan ini
perjalanan ke taman bernama surga
tempat berlabuh orang-orang bertakwa
lalu,
sampai jumpa di sana
insyaAllahu ta'ala
buku ini menjadi saksi
layar bahtera rumah tangga
dua anak manusia coba arungi samudera kehidupan,
bersama
air mata
gelak tawa
menjadi satu,
padu
haru biru
meronta dan merona
mewarnai perjalanan ini
perjalanan ke taman bernama surga
tempat berlabuh orang-orang bertakwa
lalu,
sampai jumpa di sana
insyaAllahu ta'ala
buku ini menjadi saksi
bahtera rumah tangga |
Memenuhi janji saya beberapa waktu lalu, puisi ini --kalau bisa disebut puisi, dikutip dari buku biru yang ditulis di Solo pada 8 Juli 2010 --empat hari setelah saya menikah, dengan sedikit perubahan. Memang tidak (terlalu) bagus, sih, tapi lumayan untuk awal, lah.
Rumah tangga itu memang ibarat sebuah bahtera dengan suami sebagai nahkodanya, anak dan istri sebagai penumpangnya. Gelombang ringan sampai badai besar bukan tidak mungkin menimpa bahtera itu. Di sini lah, kelihaian sang nahkoda diuji untuk membawa bahtera bersama para penumpang selamat sampai tujuan.
Cukup ya syarah-nya, sampai jumpa.
Comments
Post a Comment