Rabu, 18 Mei 2011. Awalnya, saya hanya berniat menemani istri memeriksakan kandungannya ke salah satu rumah sakit di Solo, periksa rutin. HPL -hari perkiraan lahir- nya pun masih 26 Mei. Masih seminggu lagi, lebih. Sepulang dari periksa kandungan, saya kembali ke Jakarta sore harinya, kembali bekerja –rencana.
Rencana tinggal rencana. Qodarullah, saya memang telah ditakdirkan untuk menemani istri melahirkan –sesuatu yang sangat diimpikan istri saya. Sesuatu yang justru sulit direncanakan –dan belum terencanakan dengan baik waktu itu. Tentang HPL, saya juga tidak pernah tidak ragu.
Seperti biasa, dokter langsung meminta istri saya berbaring kemudian mulai memeriksa bayi kami di dalam kandungan dengan alat/teknologi yang konon bernama USG (ultrasonografi). Dari situ, dapat terlihat kondisi bayi; ukuran, berat, dsb –termasuk plasenta dan cairan ketubannya.
Ada pemandangan tidak biasa terlihat di monitor; seperti lubang-lubang terang. Ternyata plasenta –alias ariari, atau yang sering dikatakan orang, “saudara kembar bayi”- sudah mulai rusak; bolong-bolong. Keadaan seperti ini biasanya terjadi setelah tanggal HPL, kata sang dokter.
“Saran saya, ya.. segera dilahirkan.”
Kalimat itu terdengar mengejutkan sangat bagi saya. Satu, sama sekali belum ada tanda-tanda istri saya mau melahirkan.
“Kalau belum ada tanda-tanda, ya.. dipacu.”, seolah dokter itu mampu membaca pikiran saya.
Dua, istri saya berkali-kali bilang –dan memang dari dia saya tahu, dipacu alias diinduksi itu dua kali lipat sakitnya dibandingkan melahirkan normal spontan -entah bagaimana perhitungannya. Tiga, ini akan bertentangan dengan ‘ideologi’ kami yang ingin menerapkan gaya hidup alami (back to nature, red) , terutama untuk anak ini, dari awal, sedini mungkin. Empat, jika tidak berhasil diinduksi, tentu saja jalan berikutnya –yang mungkin terakhir- adalah operasi Caesar, yang saya tahu sangatsangat tidak diingini istri saya. Lima, saya tidak jadi balik ke Jakarta hari ini?!? –tidak penting!
Saya pun bingung..
“Ya sudah Dok, sekarang saja, langsung.”, di tengah kebingungan saya, istri saya justru menyambar jawaban. Terus terang saya kembali terkejut.
“Memangnya sedarurat itu, Dok?” ‘bela’ saya. Pembelaan terhadap cita-cita melahirkan normal spontan.
“Ya, intinya plasentanya sudah mulai rusak dan akan semakin rusak. Kalau ditunggu sampai ada tanda-tanda dulu, khawatir pasokan oksigen ke bayi akan kurang.”
Sebenarnya dari tadi sudah dijelaskan seperti itu, -hanya mungkin kebingungan saya mengaburkannya- dan itu juga mungkin yang membuat istri saya menjawab mantab. Dia mengkhawatirkan bayinya, lebih dari kekhawatiran akan dirinya sendiri –bagaimana mengalami sakit dua kali lipat, bagaimana jika nanti akhirnya harus dioperasi, dan seterusnya. Kelemahan saya terkadang memang tidak bisa mengambil keputusan dengan cepat. Istri saya menutupinya. Saya pun –akhirnya- menyetujuinya, sepakat. Bismillah.
**
Singkat cerita, setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan kondisi ibu dan bayi siap diinduksi, istri saya dibawa ke ruang bersalin. Induksi pun mulai dilakukan sekitar Ashar. Maghrib, istri saya mulai meraskan ‘dampak’nya. Perut bagian bawah sakit tak karuan. Sakit, dan –sepertinya- terus dan semakin bertambah sakit. Saya, ibu saya, dan ibu mertua yang bergantian menjaga istri saya pun, ditambah kakak ipar yang mondar-mandir rumah--rumah sakit seperti ikut merasakan kesakitannya.
Singkat cerita, setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan kondisi ibu dan bayi siap diinduksi, istri saya dibawa ke ruang bersalin. Induksi pun mulai dilakukan sekitar Ashar. Maghrib, istri saya mulai meraskan ‘dampak’nya. Perut bagian bawah sakit tak karuan. Sakit, dan –sepertinya- terus dan semakin bertambah sakit. Saya, ibu saya, dan ibu mertua yang bergantian menjaga istri saya pun, ditambah kakak ipar yang mondar-mandir rumah--rumah sakit seperti ikut merasakan kesakitannya.
Setelah sekitar enam jam dipacu, pembukaan diperiksa, baru buka satu. Jam demi jam berlalu, setiap kali suster –atau sesekali bu dokter langsung- memeriksa pembukaannya, tetap saja masih bertahan di angka satu –dari sepuluh pembukaan lengkap yang diperlukan untuk jalan lahir bayi.
Detak jantung dan kontraksi bayi pun berkali-kali diteliti, bagus dan bagus. Detak jantung bagus, kontraksi –yang membuat perut ibunya kesakitan bukan main- pun bagus. Masalahnya, pembukaannya tak mau beranjak dari angka satu.
Setiap kali istri saya meronta dan mengeluhkan sakitnya, saya hanya bisa memintanya bersabar, mengatakan bahwa setelah kesusahan, pasti ada kemudahan, dan kalimat-kalimat lain untuk memberi semangat dan membesarkan hatinya.
“InsyaAllah, sakit itu berarti pembukaannya sudah mulai bertambah.”, kata saya sok tahu. “Kata suster, nanti kalau sudah pembukaan tiga, pembukaan selanjutnya biasanya cepat.”
Namun, tiap kali suster kembali mengecek pembukaan, “Masih sama.”, katanya.
**
Kamis, 19 Mei 2011. Malam tadi kami lalui sambil tetap terjaga, hanya sesekali memejamkan mata. Beberapa kali kami justru menjadi saksi kelahiran bayi di samping kanan kiri kamar bersalin ini. Termasuk Shubuh tadi, pasien yang sama persis kasusnya dengan istri saya, plasenta mulai rusak sebelum HPL; masuk ruang bersalinnya pun bisa dibilang bersamaan. Mendengar tangisan bayi yang baru lahir; kelegaan ibu setelah berhasil melahirkan; kebahagian bagi mereka sekaligus –mungkin semacam- ‘keirian’ bagi kami.
Sementara kami, tetap saja masih bertahan di angka satu dan satu, dan istri saya tak jua berhenti meringis kesakitan.
“Tenang saja, insyaAllah hari ini lahir.”, bisik saya ke istri. “Entah lahir normal ataupun operasi Caesar.”, tambah saya, hanya dalam hati.
Benar saja, sekitar pukul sebelas, istri saya bilang bahwa suster menyampaikan pesan dari Bu Dokter yang menyarankan bayi ini dilahirkan lewat operasi; Caesar. Awalnya istri saya menangis. Tampak betul bahwa ia tak menginginkan ini. Singkat cerita, alhamdulillah, kami berhasil meyakinkan ia bahwa ini sudah suratan takdir, qodarullah, bahwa akhirnya jika memang harus seperti ini. Allah tentu lebih tahu yang terbaik, dan kita hanya berkewajiban menyerahkan segala sesuatu kepada ahlinya, dhi. sang dokter kandungan.
Setelah menandatangani lembar persetujuan, kami diberitahu dan diminta bersiap-siap, operasi insyaAllah akan dimulai pukul 12.30.
Selepas Dzuhur, istri saya ‘diungsikan’ ke ruang operasi, lengkap dengan pembaringan dan jarum infuse yang masih melekat di lengan kirinya. Tidak ada satu pun yang boleh mendampinginya masuk, termasuk suaminya. Sejak itu, saya –dan keluarga yang lain- pun hanya bisa berdoa, tanpa tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Harap-harap cemas.
Di luar ruangan, selain kami ada beberapa keluarga yang juga menunggu saudara/inya dioperasi di dalam. Tidak semuanya, tetapi ada beberapa yang juga menjalani operasi yang sama; Caesar. Paling tidak masing-masing ada suami dan ibu –entah ibu kandung atau ibu mertua- yang menunggu. Mereka terlihat lebih relaks dari pada saya. Ternyata karena kebanyakan sudah pernah menjalani operasi serupa. Ya, itu kehamilan –ada yang- kedua atau bahkan ketiga. Saya semakin ‘yakin’, bahwa jika kehamilan sebelumnya dilahirkan melalui operasi, maka kemungkinan besar kehamilan berikutnya pun akan bernasib sama. Itu juga mungkin salah satu alasan yang membuat istri saya pada awalnya enggan dioperasi. Namun, ketika saya berbincang dengan salah satu suami –yang ternyata adalah senior saya dari kampus yang sama-, kembali operasi atau tidak, tergantung penyebab operasi itu sendiri, katanya. Jika penyebabnya permanen, misal karena pinggulnya terlalu sempit untuk melahirkan normal, maka mau tidak mau setiap kehamilannya harus dilahirkan melalui operasi. Tetapi jika penyebabnya non-permanen, seperti yang terjadi pada istri saya, sangat mungkin untuk melahirkan normal pada kehamilan berikutnya. Legalah saya. Satu, karena saya tahu istri saya setelah ini tetap ingin –bahkan lebih ingin- merasakan melahirkan normal, merasakan menjadi wanita sejati, katanya. Dua, lega karena saya merasa banyak pasangan yang senasib di sini; harus 'merelakan' istrinya dioperasi.
Cerita lainnya, pengalaman dia, biasanya suami dipanggil masuk untuk berdoa bersama istrinya sebelum benar-benar menjalani operasi. Mendengarnya, saya agak bagaimana begitu, karena sudah dua puluh menit-an berlalu, yang saya kira dan saya harap operasi telah dilakukan sedari tadi. Tapi, saya mencoba percaya saja.
Tak lama setelah itu, saya pun dipanggil masuk. Saya benar-benar mengira baru akan diminta berdoa bersama istri sebelum operasi. Namun, begitu saya masuk, betapa terkejutnya saya…
“Ini anak Bapak. Perempuan. Beratnya 2,5 kg, panjang 48 cm. Lahir pukul 12.50.”, kata suster sambil memegangi boks bayi.
MasyaAllah, ternyata bayi saya telah lahir dengan sehat dan selamat. Alhamdulillah. Perasaan saya pun bercampur aduk; takjub, bahagia, terkejut, lega, percaya tak percaya, bingung, dan khawatir. Mengkhawatirkan satu jiwa lagi, istri saya.
“Istri saya bagaimana, Sust?”, tanya saya.
“Masih di ruang operasi, belum selesai dijahit.”, jawabnya.
Setelah itu, bayi kami dibawa ke ruang observasi sebelum berkumpul dengan ibunya nanti. Ibunya, beberapa jam kemudian pun keluar dari ruang pemulihan. Alhamdulillah, semua selamat. Leganya.. Lelah dan letih ini terbayar lunas sudah rasanya.
Saya tak lupa sesuatu, satu dari dua sms yang saya kirim ke istri sekitar sebulan yang lalu..
[Kalau anak kita perempuan, insyaAllah kita beri nama, Maryam Ummu Faza.]
Malam harinya, kami telah berkumpul bersama dalam sebuah bangsal rumah sakit; saya, istri saya, dan anak kami. Bahagia..
19 Mei 2011, hari yang bersejarah, saya resmi menjadi seorang ayah. Maryam Ummu Faza, semoga menjadi anak yang shalihah. Amin.
*belum selesai.
*belum selesai.
amazing |
it's really amazing.. walaupun aga telat ngucapinnya..
ReplyDelete"selamet yaa.." wah ikut seneng.
makasih, tante.
ReplyDeleteLuar biasa pak...
ReplyDeleteikut turut merasakan getarannya :)
makasih, Pak Dhe. kadonya..
ReplyDelete