Dari lima pulau besar di Indonesia,
Kalimantan menjadi pulau terakhir yang saya singgahi. Dan, kota pertama
di Kalimantan yang saya datangi adalah Palangka Raya, Ibu Kota Provinsi
Kalimanan Tengah.
Pertama kali tiba di Palangka Raya,
tentu saja di bandara, seperti ada yang "aneh". Nama bandara ini;
Bandara Kota Palangka Raya bernama Bandara Tjilik Riwut (baca: Cilik
Riwut) yang dalam Bahasa Jawa berarti kecil ribut. Pertanyaannya, kenapa
Bahasa Jawa dan siapa yang kecil, siapa yang ribut? Terus terang sampai
saat ini, saya belum tahu jawabannya. *karena memang tidak mencari
tahu. hehe..
|
bandara tjilik riwut |
Bandara
Tjilik Riwut lumayan kecil, setidaknya jika dibandingkan dengan Bandara
Soeta. *ya eyalah* Setelah mengambil koper, kami -saya dan para
penjemput- meluncur menuju 'kota'. Sama seperti bandaranya, Kota
Palangka Raya lumayan kecil,
setidaknya jika dibandingkan dengan Jakarta
tetapi tertata cukup rapi, tetapi lagi, jalan-jalannya sepi. Tidak ada
macet, kecuali di SPBU. Ya, mungkin BBM di sini cukup langka.
|
jalanan Palangka Raya: sepi. |
Kota
Palangka Raya adalah kota yang lumayan panas. Mungkin karena kota ini
terletak dekat dengan -atau bahkan tepat di- garis khatulistiwa. Saya
tidak tahu persis, karena memang tidak terlalu pintar dalam pelajaran
geografi dan pelajaran-pelajaran menghafal lainnya, termasuk menghafal
jalan. Walaupun kota ini kecil dan tertata rapi, saya tetap saja tidak
dapat menghafal jalan-jalan di sini dengan mudah.
Dari bandara, setelah men-
survey beberapa hotel, kami menuju kantor. Kantor kami,
BPK RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Tengah
*tumben-tumbenan saya sebut 'merk'nya* terletak persis seberang jalan di depan TVRI Palangka Raya. Belum sepenuhnya jadi,
gedung kantor ini 'nekat' mulai digunakan sejak beberapa bulan yang
lalu. "Daripada bayar sewa kantor mahal-mahal.", katanya. Satu hal yang
aneh adalah di sebelah kanan kantor kami ada sebuah gedung kantor yang para
pegawai di sini pun tidak tahu itu kantor
apaan.
|
kantor kami |
|
kantor misterius |
Siang harinya, kami makan siang di Kampung Lauk, sebuah rumah makan di tepi Sungai Kahayan yang cukup populer. Menu makanan di sini tidak jauh-jauh dari ikan sungai. Namun, menikmatinya di pinggir sungai menghadirkan suasana tersendiri.
|
Kampung Lauk |
|
ikan Sungai Kalimantan |
|
makan di pinggiran Sungai Kahayan |
Sore hari, sesampainya di hotel Amaris, tempat kami tinggal selama lima belas hari di kota ini, saya sudah tidak sabar ingin merebahkan diri. Bangun jam tiga pagi, berangkat ke Bandara, terbang ke Kalimantan, langsung ke kantor, dst, praktis saya baru bisa istirahat jam enam sore-an sebelum jam tujuh-an harus keluar lagi untuk makan malam. Kesan pertama saya tentang hotel ini, minimalis. Saking minimalisnya, sampai tempat tisue pun gratisan hasil dari beli tisue dua bungkus. Yang menarik adalah tangga ke lantai dua dan tiga di hotel ini mirip koridor '
busway'. Dari hotel ini, kita bisa melihat Jembatan Kahayan, jembatan besar kebanggaan Kota palangka Raya yang membentang di atas Sungai Kahayan.
|
ini kan tempat tisue gratisan |
|
seperti koridor 'busway' |
|
minimalis |
|
Jembatan Kahayan, dari hotel |
O ya, jika ada hal menarik lagi dari hotel ini, itu adalah peta Kota Palangka Raya ukuran besar yang dipajang pada dinding di depan
meeting room. Sedikit -sedikit sekali- membantu saya menghafal Kota Palangka Raya.
|
bandara Tjilik Riwut |
|
hotel dekat dengan Jembatan Kahayan |
|
kantor persis di depan TVRI, belum ada indeksnya |
Hal yang menarik di Palangka Raya, salah satunya, waktu shalat di sini lebih awal sekitar setengah jam dari Jakarta. Jika di Jakarta shubuh pukul setengah lima, maka di sini pukul empat adzan sudah berkumandang. Jika setelah shubuh kita tidak tidur lagi, dan kita tidur malam sama seperti jam tidur malam di Jakarta, maka kita akan merasa hari-hari di sini lebih panjang dari hari-hari biasanya. Setidaknya itu yang saya rasakan, tapi bisa jadi juga itu karena saya merindukan anak istri. Nasi-nasi di sini agak keras, tidak pulen seperti di Jawa. Saya tidak tahu apakah ini karena jenis beras atau cara memasaknya, atau dua-duanya. Mungkin juga orang-orang sini lebih suka nasi yang seperti itu.
Hari minggu, kami sempatkan 'jalan-jalan'. Tetapi ini bukan jalan-jalan, lebih tepatnya 'duduk-duduk', karena kami hanya duduk-duduk di perahu yang menyusuri Sungai Kahayan sambil melihat coklat air sungai dan pemandangan di tepi kanan dan kiri sungai. Walaupun bagi saya ini kurang menarik, tetapi mungkin agak lebih baik dari pada menghabiskan hari libur di hotel minimalis. Dari perahu kita bisa melihat Jembatan Kahayan, perkampungan di tepi sungai, Kampung Lauk yang tempo hari kami kunjungi, hutan, sampai rambu-rambu lalu lintas sungai *saya benar-benar baru tahu kalau rambu-rambu lalu lintas juga ada di sungai* dan buaya Sungai Kahayan jika 'beruntung'. Namun, hari itu kami 'kurang beruntung' dan malas untuk 'coba lagi'.
|
menuju 'dermaga' |
|
siap menyusuri Sungai Kahayan |
|
Jembatan Kahayan, dari kapal |
|
Jembatan Kahayan, lebih dekat |
|
Kampung Lauk, dari kapal |
|
|
Sungai Kahayan |
|
menyusuri Sungai Kahayan |
|
hutan Kalimantan |
|
rambu-rambu lalu lintas sungai[?] |
|
Sungai Kahayan, tikungan!! |
Hari-hari terakhir di Palanghka Raya, agenda utama tentu saja: berburu oleh-oleh. Oleh-oleh dari Palangka Raya berkisar di antara: manik-manik, batik -yang mungkin di-"impor" dari Pekalongan dengan motif Kalimantan-, amplang (sejenis kerupuk ikan), aloe vera (lidah buaya) -yang sebenarnya dari Pontianak-, ikan asap, sampai 'sarung dodol' (sarung yang dilipat-lipat sampai kecil sekali sehingga mirip dodol).
|
manik-manik Kalimantan |
|
dodol saung, eh sarung dodol, DON'T EAT! |
|
|
Itulah sebagian kecil cerita di Palangka Raya, selebihnya adalah bekerja di kantor dan tidur di hotel. Karena saya memang bukan dalam rangka
backpacking, jadi ya maklum saja kalau ceritanya hanya seperti itu, biasa-biasa saja. Sampai jumpa di kota lainnya.
Comments
Post a Comment