Wajahnya sudah mulai keriput. Matanya sayu. Jenggotnya telah mulai berubah warna putih. Badannya masih tegap, meski ketika mulai kecapekan berjalannya agak tertatih; kaki kanannya agak diseret; lututnya sakit katanya. Pendengarannya telah kabur sejak dia duduk di bangku sekolah menengah; kekurangan yang mungkin membuatnya berhenti mengejar cita-cita kebanyakan orang untuk kemudian memilih meneruskan pekerjaan orang tuanya, bertani.
Keluarga, juga orang-orang di sekitarnya mengenalnya sebagai sosok pekerja keras. Kulit sawo matang yang menghitam terbakar panas matahari, tonjolan-tonjolan pembuluh darah di sekujur kedua tangan dan kakinya menjadi bukti shahih bahwa dia seolah tak kenal kata lelah. Bertani, mencetak batu bata, serta segala macam pekerjaan rumah laki-laki ia lakoni.
Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, bagi saya beliau adalah seorang bapak mertua yang luar biasa. Begitu pula bagi ibu mertua dan anak-anaknya, beliau adalah kepala keluarga yang tiada duanya. Istri saya sering bercerita, saat-saat ketika ia masih kecil dulu. Seperti kebanyakan anak kecil pada umumnya yang kebanyakan bermain, alih-alih ditanya bapak, “sudah makan belum, Nduk?”, bapak justru lebih pilih bertanya, “sudah sholat belum, Nduk?”. Atau ketika ia dimarahi habis-habisan ketika bolos TPA, tapi tidak diapa-apakan ketika tak bisa-bisa mengerti pelajaran sekolahnya.
Setahu saya, bapak selalu bangun untuk sholat Tahajjud, setiap malam. Tak pernah saya lewatkan malam di rumah beliau, melainkan saya mendapati bacaan Al Qur’an di seperiga malam menjelang shubuh dalam sholat beliau -sedangkan saya hanya terbangun sebentar kemudian kembali tidur. Sholat wajib jangan lagi ditanya, beliau Alhamdulillah tak pernah absen sholat berjamaah di masjid, kecuali dengan alasan syar’i. Maka, ketika bapak tak kelihatan barang setengah hari di masjid, Lik Kirno, yang paling sering menjadi imam, menjadi orang pertama yang mendatangi rumahnya, bertanya kenapa dan ada apa.
Seperti tempo hari, pagi itu, ketika malang tak dapat ditolak. Saya kebetulan (qodarullah, red) sedang di Solo. Ibu dari luar rumah setengah berlari dan setengah berteriak meminta tolong untuk membantu bapak bangun, di depan rumah. Qodarullahu wa masya’a fa`ala. Bapak terjatuh –hanya- gara-gara menarik tali jemuran. Tali jemuran yang kiranya hendak dipakai untuk menjemur popok Maryam, si cucu, dan segala macam cucian bayi yang segunung-gunung itu. Tali jemuran yang telah diikat di pohon satu itu mendadak lepas ketika bapak mengencangkan tali yang lain di pohon yang lain. Terpelantinglah beliau ke belakang. Kaki kanannya –yang lututnya memang sudah sakit- tidak bisa menahan berat badannya untuk bangkit. Kali ini pangkal kakinya sakit, sedikit di bawah pinggang. Jangankan untuk berjalan, berdiri, bahkan sekadar menapak pun terasa sangat sakit.
Saya dan ibu pun membantu memapahnya sampai di bangku depan rumah. Setelah itu, sepupu ipar yang perawat, Bang Anggi, datang sekadar memeriksa tekanan darah dan kadar asam uratnya, normal. Sorenya, Lik Saliyo, yang tukang pijat, juga datang, sedikit memijitnya, tak apa-apa katanya. Malamnya, Mas Mardi, yang –katanya- tukang urut urat saraf pun datang, mengurutnya lumayan lama, tidak apa-apa juga katanya. Tidak panas, tidak bengkak, -seharusnya- tidak terjadi apa-apa seperti yang dikhawatirkan; tulang retak, patah, atau melesat, mungkin. Sedikit tenang lah kami.
Namun, satu dua hari dilalui, seolah tak ada perkembangan berarti. Bapak masih saja terbujur tak berdaya di pembaringan, untuk sekadar beranjak bangun dari tempat tidur, duduk, masih saja harus memanggil ibu untuk dibantu. Akhirnya, diputuskan untuk membawa beliau ke rumah sakit, me-rontgent-kan tulangnya.
broken |
Singkat cerita setelah di-rontgent, Alhamdulillah ‘alaa kuli hal, segala puji bagi Allah di setiap keadaan, diketahuilah ternyata memang ada tulang yang patah. Saya tidak tahu tepatnya, -karena telah berada di Jakarta- mungkin di sekitar di bawah pinggang di atas paha, mungkin juga tepat di sambungannya. Kata dokter, bapak harus dioperasi. Setelah anak perempuannya untuk sekadar melahirkan cucunya, dioperasi belum ada dua bulan yang lalu, sekarang ganti bapak yang harus juga dioperasi. Dan ini adalah operasi bapak yang kedua setelah beberapa tahun sebelumnya, kepala beliau juga pernah dioperasi akibat jatuh dari sepeda gara-gara ter-serempet mobil, dan sekarang gara-gara seutas tali jemuran. Allahu Akbar, betapa jika Allah berkehendak, sesuatu yang kecil dan remeh temeh pun cukup untuk membinasakan manusia. Dan sungguh benarlah bahwa kehidupan seorang mukmin tak akan lepas dari dua perkara, syukur dan sabar; bersyukur ketika mendapat nikmat dan bersabar ketika mendapat musibah.
Alhamdulillah, kemarin (Sabtu, 30 Juni, red) pukul 16.00 s.d. 18.30 di rumah sakit dr. Tunjung, Kartasura, operasi telah dilaksanakan dengan baik dan lancar. Operasi yang memakan waktu cukup lama. Semoga bapak diberi kesabaran dan kemudahan untuk sembuh dan dapat kembali beraktivitas seperti sedia kala. Dan semoga kita semua dapat pandai-pandai bersyukur atas nikmat-nikmatNya sebelum mereka hilang dari kita. Amin.
Comments
Post a Comment