Di sini aku. Di tempat yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya beberapa tahun yang lalu. Mendapatkan tubuh ini menjadi salah satu penghuni kota terbesar di Indonesia Raya ini. Penghuni sebuah gedung tinggi di kota yang penuh sesak dengan asap kendaraan bermotor, pengamen, dan ibu-ibu pengajian.
Enam bulan yang lalu aku magang di gedung sebelah, tiga bulan yang lalu aku terkurung di sebuah penjara bernama Pusdiklat di daerah Kalibata bersama teman-teman sesama ‘nara pidana’ lainnya, satu bulan yang lalu aku masih di tanah kelahiranku bersama keluarga tercinta, satu minggu yang lalu aku masih di ruang pojok kanan lift lantai tujuh, dan hari ini aku telah berada di ruang baru lagi, di pojok kiri lift di lantai yang sama. Masih tanpa pekerjaan yang jelas.
Perjalanan panjang dua puluh tahun sembilan bulan telah mengantarkan diri ini menuju hidup yang lebih baik di mata orang-orang. Hidup yang terjamin aman sampai hari tua kata mereka. Tapi mereka tak tahu kan apa yang ada di benak anak yang sebenarnya bingung dirinya ini sangat pintar atau bodoh sejati, jenius atau justru hampir gila.
Yah. Aku dan mungkin ada banyak orang lain di luar sana sedang kebingungan memikirkan sejatinya dirinya sendiri. Mungkin tidak terlihat sama sekali, bahkan oleh orang-orang terdekat sekalipun. Tapi, itulah kenyataannya, Jenderal. Dan kalau boleh sedikit beropini, setiap orang setiap detik adalah perjalanan mencari jati dirinya. Hanya saja ada yang sadar dan ada yang tidak tahu apa-apa tentang ini.
Aku adalah pendiam di antara orang-orang pendiam, menjadi humoris di antara orang-orang humoris (walaupun tetap dianggap pendiam), adalah muslim yang taat di antara muslim-muslim yang taat, bermaksiat di antara orang-orang yang bermaksiat, sombong di antara orang-orang bodoh, dan minder di antara orang-orang hebat. Menulis bak Andrea Hirata sesudah membaca Laskar Pelangi, dan menulis sekonyol Raditya Dika setelah membaca Kambing Jantan.
Mungkin wajar bagi sebagian orang, tapi aku hanya ingin menjadi diriku sendiri kapan pun di mana pun, bukan seperti itu, bukan seperti bunglon yang ber-mimikri, mengubah warna kulitnya sesuai keadaan di sekitarnya. Walaupun tidak dinafikan bahwa adaptasi juga diperlukan, tapi kemunafikan tetap harus dijauhkan.
Blog ini hanya kumpulan tulisan yang ingin ditulis penulisnya. Apa pun yang ingin kutulis, akan kutulis. Tak masalah tak ada yang baca selain sang penulis sendiri. Tak masalah tak ada pengikut karena memang saya bukan Nabi baru. Dan tak masalah pula bila suatu saat terkenal dan menjadi blog nomer satu sedunia. *Huahehe…
Tuh kan, lihat sendiri betapa cepatnya saya berubah, dari “aku” menjadi “saya”, dari puitis menjadi “konyolis”. Dan akan didapatkan berbagai macam jenis tulisan di estehmanishangatnggakpakegula ini. Tak apa lah, setidaknya saya tidak membohongi diri sendiri. Karena memang seperti itu yang ingin saya tulis. Tapi juga seperti itu tadi saya pengin menjadi diri sendiri. Jadi mungkin moga-moga suatu saat, hanya akan ada satu jenis tulisan. Dan itu lah saatnya saya tahu siapa diri saya sebenarnya.
Enam bulan yang lalu aku magang di gedung sebelah, tiga bulan yang lalu aku terkurung di sebuah penjara bernama Pusdiklat di daerah Kalibata bersama teman-teman sesama ‘nara pidana’ lainnya, satu bulan yang lalu aku masih di tanah kelahiranku bersama keluarga tercinta, satu minggu yang lalu aku masih di ruang pojok kanan lift lantai tujuh, dan hari ini aku telah berada di ruang baru lagi, di pojok kiri lift di lantai yang sama. Masih tanpa pekerjaan yang jelas.
Perjalanan panjang dua puluh tahun sembilan bulan telah mengantarkan diri ini menuju hidup yang lebih baik di mata orang-orang. Hidup yang terjamin aman sampai hari tua kata mereka. Tapi mereka tak tahu kan apa yang ada di benak anak yang sebenarnya bingung dirinya ini sangat pintar atau bodoh sejati, jenius atau justru hampir gila.
Yah. Aku dan mungkin ada banyak orang lain di luar sana sedang kebingungan memikirkan sejatinya dirinya sendiri. Mungkin tidak terlihat sama sekali, bahkan oleh orang-orang terdekat sekalipun. Tapi, itulah kenyataannya, Jenderal. Dan kalau boleh sedikit beropini, setiap orang setiap detik adalah perjalanan mencari jati dirinya. Hanya saja ada yang sadar dan ada yang tidak tahu apa-apa tentang ini.
Aku adalah pendiam di antara orang-orang pendiam, menjadi humoris di antara orang-orang humoris (walaupun tetap dianggap pendiam), adalah muslim yang taat di antara muslim-muslim yang taat, bermaksiat di antara orang-orang yang bermaksiat, sombong di antara orang-orang bodoh, dan minder di antara orang-orang hebat. Menulis bak Andrea Hirata sesudah membaca Laskar Pelangi, dan menulis sekonyol Raditya Dika setelah membaca Kambing Jantan.
Mungkin wajar bagi sebagian orang, tapi aku hanya ingin menjadi diriku sendiri kapan pun di mana pun, bukan seperti itu, bukan seperti bunglon yang ber-mimikri, mengubah warna kulitnya sesuai keadaan di sekitarnya. Walaupun tidak dinafikan bahwa adaptasi juga diperlukan, tapi kemunafikan tetap harus dijauhkan.
Blog ini hanya kumpulan tulisan yang ingin ditulis penulisnya. Apa pun yang ingin kutulis, akan kutulis. Tak masalah tak ada yang baca selain sang penulis sendiri. Tak masalah tak ada pengikut karena memang saya bukan Nabi baru. Dan tak masalah pula bila suatu saat terkenal dan menjadi blog nomer satu sedunia. *Huahehe…
Tuh kan, lihat sendiri betapa cepatnya saya berubah, dari “aku” menjadi “saya”, dari puitis menjadi “konyolis”. Dan akan didapatkan berbagai macam jenis tulisan di estehmanishangatnggakpakegula ini. Tak apa lah, setidaknya saya tidak membohongi diri sendiri. Karena memang seperti itu yang ingin saya tulis. Tapi juga seperti itu tadi saya pengin menjadi diri sendiri. Jadi mungkin moga-moga suatu saat, hanya akan ada satu jenis tulisan. Dan itu lah saatnya saya tahu siapa diri saya sebenarnya.
Comments
Post a Comment