Skip to main content

Pak Tholib dan Bu Tholib

Adalah Pak Tholib dan Bu Tholib, sepasang suami istri –atau lebih tepatnya, sepasang kekek nenek- yang telah berkepala lima*. Di Jakarta, merekalah tetangga kami satusatunya –bisa dibilang begitu- sekaligus Bapak Ibu kontrakan kami. Pak Tholib adalah seorang pensiunan PNS –seperti kemungkinan besar masa depan saya, itupun andai masih hidup di usia segitu- Pemda DKI Jakarta. Bu Tholib konon kabarnya adalah ibu rumah tangga semenjak kali pertama menikah, tak pernah merasakan yang namanya menjadi wanita karir dan sebagainya. Dari sisi ini, beliau sedikit “lebih baik” dari istri saya.

Sedikit yang saya tahu dari mereka yang bisa saya ceritakan di sini, secara siang hari saya harus bekerja di kantor sedangkan malam harinya saya harus istirahat dan atau “istrirahat”. Toh Pak Tholib dan Bu Tholib juga seringnya menutup pintu rumah mereka sebelum malam. Praktis saya hanya mungkin berbincang dengan mereka di hari sabtu dan minggu, itu pun hanya waktu sisa dari yang lebih banyak saya habiskan bersama istri.

Entah orang tua Pak Tholib dan Bu Tholib penganut madzhab Siti Nurbaya atau bagaimana, tapi yang saya tahu dari cerita mereka, mereka menikah karena dijodohkan oleh orang tua mereka. So sweet. Dan Alhamdulillah, rumah tangga mereka mampu bertahan sampai hari ini, sampai kakeknenek. Bukti sahih bahwa tak selamanya perjodohan berakhir berantakan, tergantung banyak faktor.

Pak Tholib dan Bu Tholib mempunyai tiga orang anak, semuanya telah berkeluarga. Cucu mereka juga sudah banyak, saya tak tahu persis jumlahnya. Ketiga anaknya telah tinggal di rumah mereka masing-masing bersama keluarga mereka masingmasing. Bahkan dua di antaranya tinggal di luar kota, satu di Jambi, satu lagi saya lupa dimana atau memang mereka belum pernah cerita.

Satu keluarga lagi masih tinggal di Jakarta, sebelumnya malah masih tinggal bersama Pak Tholib dan Bu Tholib sejak menikah sampai punya dua orang anak, baru beberapa bulan ini mereka pindah dari Rawamangun. Saya jadi sempat berkenalan dengan mereka, Mbak Darmi dan Mas Bambang, dua anak mereka Dimas dan Habibie. Yang agak membuat terharu adalah Habibie telah berumur tujuh tahun tapi belum lancar berbicara dan dalam banyak hal. Habibie pernah disekolahkan di sekolah umum, tapi akhirnya dipindahkan juga ke Sekolah Luar Biasa. Ya, biisa dikatakan –maaf- agak kurang mental. Konon, dari cerita Bu Tholib, waktu baru berusia beberapa bulan, Habibie pernah terjatuh dari kursi di dalam gerbong kereta saat diajak pulang kampung ke Jogja. Kemungkinan besar itulah sebab kenapa Habibie sekarang seperti ini, tapi yang jelas Qodarullah. Walaupun begitu, Habibie malah terlihat jelas lebih ramah dan ceria daripada kakaknya.

O ya, Pak Tholib dan Bu Tholib orang Jawa duaduanya. Tepatnya Jogjakarta daerah asal mereka. Sudah lama di Jakarta, mulai dari nol sampai sekarang, punya rumah –walau sederhana- untuk berteduh, bahkan sebagian dikontrakkan kepada kami. Mulai dari sehat wal afiat, sampai qodarulloh sekarang Bu Tholib mengidap berbagai penyakit, mulai dari sakit Maag sampai sakit Jantung. Makanya, Bu Tholib sudah tidak banyak beraktivitas sekarang ini. Pak Tholib lah yang mengerjakan hampir semuanya -mungkin kecuali memasak-, mulai dari mencuci baju sampai membetulkan genteng. Bapak itu pekerja keras, rajin dan tidak mau diam, begitu cerita Bu Tholib tentang suaminya. Pantas saja, mungkin itu kenapa Pak Tholib jadi terlihat lebih muda dari istrinya.

Satu lagi yang menarik dari Pak Tholib dan Bu Tholib saya dapat dari cerita istri saya. Bahwa meskipun usia pernikahan mereka mungkin telah mencapai gelar platinum, Pak Tholib dan Bu Tholib masih “mesra”. Setidaknya terdengar dari panggilan mereka satu sama lain. Pak Tholib masih sering membahasakan Bu Tholib dengan “istri saya” ketika berbicara dengan orang, dan Bu Tholib masih memanggil “Mas” kepadanya. So sweet. Hal yang bahkan kata istri saya tidak dia dapati dari bapak ibunya di Solo, bahkan di rumah tangga kami yang baru seumur jagung yang sering tidak konsisten dengan panggilanpanggilan seperti itu.

Itulah sedikit cerita dari Pak Tolib dan Bu Tholib. Seperti kata Tholib yang berarti pelajar, semoga kami bisa banyak belajar dari “tetangga kami satusatunya” ini.

*) perkiraan saya

Comments

Popular posts from this blog

Cara Bikin Daftar Isi Otomatis di Ms Word

Capek dong, yah? Tiap kali atasan ngerevisi konsep laporan, kamu harus neliti lagi halaman demi halaman buat nyocokin nomor halaman ke daftar isi? Mending-mending kalau atasan kamu (yang ngrevisi) cuma satu, kalau ada lima belas?! Sebenernya kalau kamu pinter dikit , suruh aja junior kamu yang ngerjain bikin aja daftar isinya belakangan pas laporan udah final. Tapi karena kamu maunya pinter banyak , bikin aja daftar isi otomatis! Kayak gimana tuh, yuk kita bahas. Bagi yang belum tahu, semoga berguna. Bagi yang udah tahu, ngapain kamu masih di sini? Pergi sana! Aku tidak mau melihat mukamu lagi! Enyahlah!! #becanda, *sinetron banget ya* Sebelumnya, karena saya memakai Ms Office 2010, maka saya akan jelaskan berdasarkan versi tersebut. Apa? Kamu pakai Ms Office 2007? Ga masalah, mirip-mirip kok. Apa? Kamu masih pakai Ms Office 2003? Plis deh, itu udah sewindu lebih. Apa? Ms Office kamu bajakan? Itu urusan kamu! Apa? Ms Office kamu versi 2003 dan bajakan? Wuargh!! Apa? kamu belum

kaki kanan dan kaki kiri

Minggu pagi yang cerah, kaki kanan dan kaki kiri sedang bersepeda bersama waktu itu. Setelah keduanya hampir lelah mengayuh dan memutuskan untuk kembali pulang, mereka menyempatkan diri sekadar membeli makan pagi, alias sarapan dalam bahasa manusia. Mampirlah mereka membeli ketupat sayur di pinggir jalan, dibungkus, pakai telor. Masukkan ke keranjang sepeda di bagian depan; cukup satu bungkus yang akan mereka makan bersama; memang rukun sekali mereka berdua. Dari situ, kedua kaki itu benar-benar hendak pulang. Tapi tunggu dulu, mereka tiba-tiba ingat sesuatu. Persediaan uang di dompet tuannya menipis. Kebetulan – qodarullah, red - di seberang jalan sana ada ATM * Automatic Teller Machine , bukan Anjungan Tunai Mandiri. Mereka kayuh kembali sepedanya ke ATM yang masih satu komplek dengan Apotik Rini itu. Apotik –yang entah kenapa- paling laris dari beberapa apotik yang ber- jejer di sepanjang Jalan Balai Pustaka. Sampailah sepasang kaki itu di tempat tersebut. Ramai-ramai; rupanya se

adverse vs disclaimer

Opini auditor mana yang lebih baik, atau lebih tepatnya mana yang lebih buruk: adverse (tidak wajar) atau disclaimer (tidak menyatakan pendapat). Terkadang --atau bahkan selalu-- ada perbedaan pendapat dalam sebuah disiplin ilmu; tetapi tidak selalu didapatkan kata sepakat. Tidak berbeda juga dalam akuntansi dan audit, para 'ahli' berbeda pendapat tentang apakah opini adverse lebih 'baik' dari opini disclaimer atau sebaliknya. Sebelum 'menentukan' jawabannya, ada baiknya kita baca kembali penjelasan masing-masing opini. Pendapat Tidak Wajar/TW ( adverse opinion ) adalah opini yang menyatakan bahwa Laporan Keuangan (LK) tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan sesuai dengan standar akuntansi. Opini ini diberikan karena auditor meyakini, berdasar bukti-bukti yang dikumpulkannya, bahwa laporan keuangan mengandung banyak sekali kesalahan atau kekeliruan yang material. Artinya, laporan keuangan tidak menggambarkan kondisi keuangan secara