Skip to main content

transjakarta, angkutan umum, dan wanita

Sejak unit kerja saya bedol desa ke kantor perwakilan yang di MTH *entah kenapa saya agak sulit menuliskan instansi saya bekerja*, saya tidak lagi bisa naik bus jemputan kantor untuk berangkat dan pulang --karena bus jemputan hanya tersedia untuk perjalanan dari dan ke kantor pusat yang di Gatot Subroto. Sejak saat itu, saya 'terpaksa' naik Transjakarta ke kantor, setiap pagi.

halte busway


Transjakarta, sebuah model transportasi yang hanya --baru-- ada di satu kota di negeri ini ternyata memang tak senyaman yang dibayangkan. Mulai dari halte keberangkatan, bus yang dinanti kadang tak kunjung datang. Butuh waktu kira-kira rata-rata sepuluh menit dari mulai beli karcis sampai naik bis bus; mungkin karena jumlah armada Transjakarta masih kalah dengan jumlah armada Metromini ataupun armada Kopaja. Di dalam bus, penumpang pun --terlihat-- sudah penuh berjejalan, pria dan wanita. Sebenarnya bus belum penuh-penuh amat, tetapi mereka suka berkumpul di dekat pintu keluar agar mudah dan cepat nanti turunnya; sehingga bus terlihat sudah penuh. Namun, memang kadang benar-benar penuh, benar-benar berjejalan --pria dan wanita-- apalagi pada jam-jam sibuk, seperti jam berangkat dan pulang kantor. Makanya, biasanya, saya memilih berangkat lebih pagi.


Di halte transit pun, keadaannya tidak lebih nyaman. Justru di sini, bisa dibilang lebih runyam. Terjawab sudah mengapa penumpang suka berkumpul di dekat pintu keluar. Ternyata mereka ingin cepat-cepat turun dan cepat-cepat antri lagi untuk naik bus berikutnya --sesuai jurusan/tujuan masing-masing. Di halte transit yang terbilang sempit ini, penumpang sering menumpuk dan benar-benar memenuhi setiap sudut halte, berdesakan --pria dan wanita. Kedaaan bertambah runyam manakala penumpang yang antri di depan tak kunjung naik bus karena jurusan bus yang lewat memang tidak sesuai dengan tujuannya, sementara pintu naik bus hanya ada dua untuk empat atau lima jurusan yang berbeda. Tak jarang beberapa penumpang --terutama yang masih antri di belakang-- berteriak karena tak kunjung maju apalagi naik bus; berdebat dengan petugas sampai berdebat dengan sesama penumpang. Dan saya biasanya hanya tersenyum geli saja, sempat-sempatnya mereka saling umpat saat situasi kondisi seperti ini, sama-sama susah. Untuk naik bus pun, sering kali penumpang terlibat aksi saling dorong, berbahaya. Kaki terinjak sudah hal biasa, asal jangan saja; terinjak oleh sepau hak tinggi, bisa-bisa berdarah-darah.

Di halte penurunan, ujian terakhir menghadang. Kebetulan --Qodarullah, red-- halte tempat saya turun berdekatan dengan stasiun. Pada saat-saat tertentu, para penumpang kereta yang baru saja turun dari kereta menyerbu halte Transjakarta tersebut untuk melanjutkan perjalanan mereka. Halte pun penuh --pria dan wanita, bahkan terkadang sampai mengular sampai ke sepanjang tangga. Praktis, terkadang saya harus berjibaku untuk sekadar turun dari bus, melawan antusiasme arus penumpang yang hendak naik bus. Sejak unit kerja saya bedol desa, perlu sebuah perjuangan untuk sekadar berangkat ke kantor.

**

Sebenarnya, hal-hal seperti ini, tidak hanya di Transjakarta, tetapi juga di angkutan umum lainnya, termasuk kasus pemerkosaan di angkot yang beritanya booming beberapa hari yang lalu itu, dan permasalahan lainnya bisa dihindari atau setidaknya dikurangi andai para bapak dan para suami menjaga wanita-wanita (anak/istri/saudari) mereka (untuk tetap) di rumahnya. Lagi pula tidakkah mereka cemburu sedikit saja dengan keadaan seperti itu --anak/istri/saudari mereka berjejalan, berdesakan dengan pria asing?

“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan dilihat oleh Allah (dengan pandangan kasih sayang) pada hari kiamat nanti, yaitu: orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki, dan ad-dayyuts…” (HR. An-Nasa-i, no. 2562, Ahmad, 2/134 dan lain-lain. Dishahihkan oleh Adz-Dzahabi dalam Kitabul Kaba-ir, hal. 55 dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaaditsish Shahihah, no. 284. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/498 mengenai makna hadits ini)

Makna ad-dayyuts adalah seorang suami atau bapak yang membiarkan terjadinya perbuatan buruk dalam keluarganya (Lihat Fathul Baari, 10/406). Lawannya adalah al-gayur, yaitu orang yang memiliki kecemburuan besar terhadap keluarganya sehingga dia tidak membiarkan mereka berbuat maksiat. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 9/357)

Dan yang perlu diingat bahwa tanggung jawab mencari nafkah ada di tangan suami sehingga bila ia masih mampu menghidupi keluarganya, jangan ia biarkan istrinya bekerja di luar rumah. Sebaliknya ia lazimkan istrinya untuk tetap tinggal di rumah karena Allah berfirman:

Comments

Popular posts from this blog

Cara Bikin Daftar Isi Otomatis di Ms Word

Capek dong, yah? Tiap kali atasan ngerevisi konsep laporan, kamu harus neliti lagi halaman demi halaman buat nyocokin nomor halaman ke daftar isi? Mending-mending kalau atasan kamu (yang ngrevisi) cuma satu, kalau ada lima belas?! Sebenernya kalau kamu pinter dikit , suruh aja junior kamu yang ngerjain bikin aja daftar isinya belakangan pas laporan udah final. Tapi karena kamu maunya pinter banyak , bikin aja daftar isi otomatis! Kayak gimana tuh, yuk kita bahas. Bagi yang belum tahu, semoga berguna. Bagi yang udah tahu, ngapain kamu masih di sini? Pergi sana! Aku tidak mau melihat mukamu lagi! Enyahlah!! #becanda, *sinetron banget ya* Sebelumnya, karena saya memakai Ms Office 2010, maka saya akan jelaskan berdasarkan versi tersebut. Apa? Kamu pakai Ms Office 2007? Ga masalah, mirip-mirip kok. Apa? Kamu masih pakai Ms Office 2003? Plis deh, itu udah sewindu lebih. Apa? Ms Office kamu bajakan? Itu urusan kamu! Apa? Ms Office kamu versi 2003 dan bajakan? Wuargh!! Apa? kamu belum

kaki kanan dan kaki kiri

Minggu pagi yang cerah, kaki kanan dan kaki kiri sedang bersepeda bersama waktu itu. Setelah keduanya hampir lelah mengayuh dan memutuskan untuk kembali pulang, mereka menyempatkan diri sekadar membeli makan pagi, alias sarapan dalam bahasa manusia. Mampirlah mereka membeli ketupat sayur di pinggir jalan, dibungkus, pakai telor. Masukkan ke keranjang sepeda di bagian depan; cukup satu bungkus yang akan mereka makan bersama; memang rukun sekali mereka berdua. Dari situ, kedua kaki itu benar-benar hendak pulang. Tapi tunggu dulu, mereka tiba-tiba ingat sesuatu. Persediaan uang di dompet tuannya menipis. Kebetulan – qodarullah, red - di seberang jalan sana ada ATM * Automatic Teller Machine , bukan Anjungan Tunai Mandiri. Mereka kayuh kembali sepedanya ke ATM yang masih satu komplek dengan Apotik Rini itu. Apotik –yang entah kenapa- paling laris dari beberapa apotik yang ber- jejer di sepanjang Jalan Balai Pustaka. Sampailah sepasang kaki itu di tempat tersebut. Ramai-ramai; rupanya se

adverse vs disclaimer

Opini auditor mana yang lebih baik, atau lebih tepatnya mana yang lebih buruk: adverse (tidak wajar) atau disclaimer (tidak menyatakan pendapat). Terkadang --atau bahkan selalu-- ada perbedaan pendapat dalam sebuah disiplin ilmu; tetapi tidak selalu didapatkan kata sepakat. Tidak berbeda juga dalam akuntansi dan audit, para 'ahli' berbeda pendapat tentang apakah opini adverse lebih 'baik' dari opini disclaimer atau sebaliknya. Sebelum 'menentukan' jawabannya, ada baiknya kita baca kembali penjelasan masing-masing opini. Pendapat Tidak Wajar/TW ( adverse opinion ) adalah opini yang menyatakan bahwa Laporan Keuangan (LK) tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan sesuai dengan standar akuntansi. Opini ini diberikan karena auditor meyakini, berdasar bukti-bukti yang dikumpulkannya, bahwa laporan keuangan mengandung banyak sekali kesalahan atau kekeliruan yang material. Artinya, laporan keuangan tidak menggambarkan kondisi keuangan secara