Skip to main content

konsep risiko (3-habis): risiko audit

Melanjutkan yang kemarin-kemarin___

Setelah "membahas" *kenapa pake tanda kutip? karena saya sendiri tidak yakin tulisan saya layak disebut pembahasan, hhe* konsep dasar penilaian risiko, risk apptite dan risk tolerance, serta macam-macam respon terhadap risiko, sekarang, mari kita coba selesaikan "pembahasan" trilogi risiko ini. Di sekuel terakhir ini, saya akan paparkan 'sedikit' *karena memang hanya sedikit yang saya tahu* tentang macam risiko dalam audit.

Ada empat --atau lima-- macam risiko dalam audit, yaitu inherent risk (risiko inheren/awal), control risk (risiko pengendalian), detection risk (risiko deteksi), dan --normal-- audit risk (risiko audit). Satu lagi risiko yang baru-baru ini saya tahu: auditor risk (risiko auditor). Sedangkan istilah residual risk (risiko tersisa) digunakan sebagai lawan dari inherent risk.

Inherent risk merupakan risiko yang belum diapa-apakan. Langkah pertama dalam manajemen risiko adalah identifikasi dan penilaian risiko. Inherent risk merupakan risiko yang berhasil diidentifikasi dan kemudian dinilai. Belum dilakukan treatment apapun terhadap inherent risk. Kebalikan dari inherent risk, residual risk merupakan risiko yang sudah diapa-apakan, dilakukan treatment. Dalam petunjuk teknis audit di tempat saya bekerja, auditor harus melakukan pemahaman entitas (auditee) --yang salah satu tujuannya-- sebagai dasar penilaian inherent risk ini. Pada perusahaan yang telah menerapkan manajemen risiko, inherent risk telah dilakukan secara mandiri. Namun, dhi. (dalam hal ini) bukan berarti auditor lalu boleh meninggalkan langkah pemahaman entitas.

Inherent risk tidak dibiarkan begitu saja, seperti yang sudah dibahas kemarin, jika tingkat inherent risk ini di atas risk tolerance, maka perusahaan dhi. akan melakukan --salah satunya-- mitigasi atau pengendalian risiko. Mitigasi risiko ini dapat dilakukan dengan menerapkan sistem pengendalian internal/SPI (internal control system) pada aktivitas-aktivitas perusahaan --terutama yang berrisiko tinggi. Tidak semua risiko dapat ditekan dengan diterapkannya SPI sampai pada titik nol. Risiko yang masih tersisa (residual risk) setelah diterapkannya SPI inilah yang disebut control risk. Dalam petunjuk teknis audit di tempat saya bekerja, auditor harus melakukan pemahaman dan penilaian SPI (test of control) --yang salah satu tujuannya-- sebagai dasar penilaian control risk.

Audit tidak bisa lepas dari teknik sampling. Karena waktu dan tenaga yang sangat terbatas, audit tidak mungkin dilakukan atas seluruh transaksi (populasi). Oleh karena itu, auditor menggunakan teknik uji petik (sampling) pada pengujian substantif (substantive test) dengan harapan sample yang diambil dapat mewakili populasi. Di luar harapan, sangat mungkin sample yang diambil "salah". Transaksi yang dijadikan sample baik-baik saja, sedangkan transaksi yang bermasalah justru luput dari sampling misalnya. Risiko yang masih tersisa (residual risk) dari transaksi yang bermasalah yang luput dari sampling audit sehingga tidak terdeteksi oleh auditor inilah yang disebut dengan detection risk.

Detection risk ini pada akhirnya akan menjadi audit risk atau normal audit risk jika auditor telah melaksanakan langkah-langkah audit sesuai standar audit (dapat dipertanggungjawabkan) yang antara lain dibuktikan dengan kertas kerja audit. Sedangkan jika audit dilaksanakan tidak sesuai standar audit dengan alasan yang tidak dapat diterima --entah itu karena error (unsur ketidaksengajaan) ataupun fraud (unsur kesengajaan), detection risk akan menjadi auditor risk.

Sekian. O ya, maaf untuk tidak dapat lagi menampilkan Bunga (bukan nama sebenarnya) sebagai permisalan.
risiko dalam audit

Comments

Popular posts from this blog

adverse vs disclaimer

Opini auditor mana yang lebih baik, atau lebih tepatnya mana yang lebih buruk: adverse (tidak wajar) atau disclaimer (tidak menyatakan pendapat). Terkadang --atau bahkan selalu-- ada perbedaan pendapat dalam sebuah disiplin ilmu; tetapi tidak selalu didapatkan kata sepakat. Tidak berbeda juga dalam akuntansi dan audit, para 'ahli' berbeda pendapat tentang apakah opini adverse lebih 'baik' dari opini disclaimer atau sebaliknya. Sebelum 'menentukan' jawabannya, ada baiknya kita baca kembali penjelasan masing-masing opini. Pendapat Tidak Wajar/TW ( adverse opinion ) adalah opini yang menyatakan bahwa Laporan Keuangan (LK) tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan sesuai dengan standar akuntansi. Opini ini diberikan karena auditor meyakini, berdasar bukti-bukti yang dikumpulkannya, bahwa laporan keuangan mengandung banyak sekali kesalahan atau kekeliruan yang material. Artinya, laporan keuangan tidak menggambarkan kondisi keuangan secara

Cara Bikin Daftar Isi Otomatis di Ms Word

Capek dong, yah? Tiap kali atasan ngerevisi konsep laporan, kamu harus neliti lagi halaman demi halaman buat nyocokin nomor halaman ke daftar isi? Mending-mending kalau atasan kamu (yang ngrevisi) cuma satu, kalau ada lima belas?! Sebenernya kalau kamu pinter dikit , suruh aja junior kamu yang ngerjain bikin aja daftar isinya belakangan pas laporan udah final. Tapi karena kamu maunya pinter banyak , bikin aja daftar isi otomatis! Kayak gimana tuh, yuk kita bahas. Bagi yang belum tahu, semoga berguna. Bagi yang udah tahu, ngapain kamu masih di sini? Pergi sana! Aku tidak mau melihat mukamu lagi! Enyahlah!! #becanda, *sinetron banget ya* Sebelumnya, karena saya memakai Ms Office 2010, maka saya akan jelaskan berdasarkan versi tersebut. Apa? Kamu pakai Ms Office 2007? Ga masalah, mirip-mirip kok. Apa? Kamu masih pakai Ms Office 2003? Plis deh, itu udah sewindu lebih. Apa? Ms Office kamu bajakan? Itu urusan kamu! Apa? Ms Office kamu versi 2003 dan bajakan? Wuargh!! Apa? kamu belum

kaki kanan dan kaki kiri

Minggu pagi yang cerah, kaki kanan dan kaki kiri sedang bersepeda bersama waktu itu. Setelah keduanya hampir lelah mengayuh dan memutuskan untuk kembali pulang, mereka menyempatkan diri sekadar membeli makan pagi, alias sarapan dalam bahasa manusia. Mampirlah mereka membeli ketupat sayur di pinggir jalan, dibungkus, pakai telor. Masukkan ke keranjang sepeda di bagian depan; cukup satu bungkus yang akan mereka makan bersama; memang rukun sekali mereka berdua. Dari situ, kedua kaki itu benar-benar hendak pulang. Tapi tunggu dulu, mereka tiba-tiba ingat sesuatu. Persediaan uang di dompet tuannya menipis. Kebetulan – qodarullah, red - di seberang jalan sana ada ATM * Automatic Teller Machine , bukan Anjungan Tunai Mandiri. Mereka kayuh kembali sepedanya ke ATM yang masih satu komplek dengan Apotik Rini itu. Apotik –yang entah kenapa- paling laris dari beberapa apotik yang ber- jejer di sepanjang Jalan Balai Pustaka. Sampailah sepasang kaki itu di tempat tersebut. Ramai-ramai; rupanya se