Pengajuan cuti yang minimal tiga hari sebelum
tanggal cuti menimbulkan sedikit masalah dalam menentukan tanggal yang tepat
untuk pulang ke Solo, menjadi suami siaga. Berdasarkan masukan dari beberapa
pihak, termasuk atasan langsung dan teman di SDM, diambillah tujuh hari cuti
(dari sepuluh hari yang tersisa), ditambah dengan tiga hari izin atasan (satu
hari sebelum dan dua hari setelah cuti), serta (rencana tersembunyi) bolos
sehari. Total saya siaga di Solo sejak 13 sampai dengan 29 September. HPL (Hari
Perkiraan Lahir) tanggal 17 September. Perjuangan suami siaga dimulai.
Beberapa hari sebelum saya pulang, istri saya
merasakan sebagian tanda-tanda persalinan, kontraksi yang terus menerus
seharian. Tetapi kemudian tanda itu hilang, tanpa ada apa-apa. Saya tidak jadi
kehilangan momen spesial, menemani istri melahirkan.
13 September. Setiba saya di Solo, istri saya masih seperti biasa, melakukan aktivitas sehari-hari sambil menunggu ‘tanda-tanda cinta’. Tidak lupa jalan-jalan pagi, atau sore hari, minimal 60 menit sehari. Hanya saja, sejak beberapa hari yang lalu, bagian perineumnya memang terasa sakit, mungkin, mungkin karena dorongan kepala si bayi. Saya bahkan menduga, mungkin, mungkin sudah ada pembukaan. Tak jarang rasa sakit itu membuat istri saya menangis, saking sakitnya. Dan jika Maryam tahu Ummi-nya menangis, dia akan ikut menangis, tentu dengan lebih ‘heboh’.
**
Sampai dengan HPL, kami terus membaca-baca
artikel, baik dari buku maupun di internet, tentang tanda-tanda dan proses persalinan,
mulai dari kontraksi palsu, keluarnya darah, kontraksi terus menerus dan
berkala, nyeri di perut dan punggung seperti saat menstruasi, pecahnya ketuban (termasuk
ciri-ciri air ketuban), fase pertama persalinan (mulai pembukaan awal sampai
sepuluh), fase kedua, dan ketiga. Khatam.
Kami juga membaca tentang tips-tips
mempercepat/menyegerakan dan memperlancar persalinan, mulai dari memperbanyak
jalan kaki sampai dengan (maaf) seks, termasuk juga tips yang sedikit lucu:
sering-sering naik motor (untuk merangsang kontraksi). Walaupun begitu, tetap
saja, sejatinya tidak ada yang bisa menyegerakannya, hari persalinan memang
sebuah misteri, hanya Allah yang tahu, yang menentukan. Selain itu, istri juga
menyarankan saya untuk membaca-baca tentang kiat sukses mendampingi
persalinan[]
**
Hari demi hari kami lalui, malam demi malam
silih berganti, istri saya pun mulai resah menanti. Saya, sebenarnya juga
resah. Namun, sedapat mungkin saya sembunyikan perasaan itu agar tak membuatnya
semakin resah. Sampai HPL pun tiba.
17 September. Pagi hari, tepat pada HPL,
hanya dengan naik motor, ‘kami’ memeriksakan kandungan ke Bidan Umroh. Setelah
di-VT, diketahui memang telah terjadi pembukaan satu. Namun, itu belum dianggap
masuk proses persalinan. Persalinan baru dihitung dari pembukaan tiga. Kami
pulang kembali, kembali sepekan lagi atau bila terjadi tanda-tanda persalinan.
Dan rasa sakit di perineum itu memang disebabkan oleh tekanan dari kepala bayi
yang posisinya sudah sangat di bawah.
19 September. Malam hari. Rasa sakit yang sangat
di perineum itu kembali membuat istri saya menangis. Dan siang harinya, telah
keluar tanda flek kuning. Karena (seolah) tidak tahan dan setelah berkonsultasi
via SMS dengan Bidan Umroh (dan istri saya memang sangat intens ber-SMS dengan
Bidan), malam itu juga kami kembali ke RB ‘Aisyah. Masih dengan naik motor,
atas permintaan istri saya sendiri. Mungkin ia termakan tips lucu itu,
sering-sering naik motor untuk memicu kontraksi.
Setelah diperiksa (termasuk di-VT), masih
saja, buka satu, tapi sudah agak longgar. “Hampir buka dua”, kata Si Bidan.
Sama seperti kemarin-kemarin, termasuk dalam SMS-nya ke istri saya, beliau berpesan
agar istri saya untuk tetap tenang, sabar, memperbanyak doa dan bertawakal
kepada Allah. Kami kembali pulang, kembali 24 September atau bila terjadi
tanda-tanda persalinan.
**
Pesan Bidan Umroh untuk tetap tenang memang
tidak mudah dijalani. Istri saya masih saja terus resah. Maklum, menurut teori
kedokteran, usia kandungan adalah sampai HPL + 2 minggu. Jika sudah lewat batas
itu, mau tidak mau harus segera dilahirkan, tentu dengan jalan terakhir,
Operasi Caesar, yang kami coba hindari dari awal. Tidak hanya soal waktu,
keresahan itu juga karena sambil menunggu waktu kelahiran yang tak pasti, ia
juga harus menanggung sakit yang semakin di perineum itu. Saya menasehatinya
dengan memperbandingkan dengan kesabaran ibunya, yang mengandung kakaknya
sampai dengan 10 bulan! Dan alhamdulillah
lahir normal, karena zaman dahulu memang Caesar memang belum nge-trend, apalagi di desa.
21 September. Malam hari. Saya berinisiatif
untuk memeriksakan kandungan istri saya, dengan USG. Berjaga-jaga kalau-kalau
kejadiannya bakal serupa Maryam dulu, plasenta sudah mulai rusak dan harus
segera dilahirkan. Sekadar untuk mengetahui keadaan si bayi di dalam.
Di desa dekat desa kami, ada RB milik bidan
juga, yang sudah menggunakan USG sebagai salah satu alat pemeriksaannya. Kami
pun ke sana, masih dengan naik motor. Sebenarnya, saya ragu, “Hebat sekali,
selevel bidan bisa mengoperasikan USG.”, pikir saya. Benar saja, sampai di
sana, saya kecewa, apalagi bidan utamanya tidak berada di tempat. Terlihat
sekali si bidan yang satu ini tidak benar-benar bisa mengoperasikan USG dengan
baik. Terbukti ketika saya tanya, tentang keadaan plasentanya, dia kebingungan
mencari gambarnya, atau ketika istri saya bertanya tentang berat si bayi, yang
bias diperkirakan dengan USG, dia menjawab sekenanya saja. Tapi, katanya,
keadaan si bayi masih baik-baik saja.
InsyaAllah istri saya juga ingin VBAC setelah kelahiran cesar sebelumnya, semoga dengan adanya artikel ini membuat semangatnya bertambah setelah dokter menyatakan harus cesar lagi, mohon doanya ya pak trimakasih.
ReplyDelete